Kamis, 15 September 2011

Kisah Sang Lebah

Sarang lebah. Benda unik, indah, menyanangkan, tapi juga berbahaya yang sejak kecil menarik perhatianku.
Kisahku dimulai saat aku kecil, tepatnya saat usiaku kurang lebih menginjak 3 tahun. Alasan pindah tugas membuat aku harus pindah juga dari kota yng sebelumnya kudiami ke sebuah daerah baru yang kusebut desa. Tempat yang masih sepi, sejuk, banyak pepohonan, dan ramah. Hal menarik yang ku ingat saat datang adalah rasa heran melihat rumah-rumah yang notabene masih terbuat dari bambu, yang tentunya tidak akan kutemui dikota. Pemandangan langka yang dapat ku nikmati, paling tidak sebelum aku menyadari kalau ternyata aku akan menetap disana.
Saat aku datang, kupikir kami hanya berlibur disana. Kunikmati keseharianku awal datang. Ayah mulai mengajakku berkeliling melihat-lihat keadaan sekitar kampung. Masih kuingat jelas saat itu, saat pertama kalinya ayah memboncengkanku dengan sepeda jengki berwarna biru milik kakekku. Saat itu aku masih terlalu kecil untuk membonceng di belakang, lebih tepatnya ayah khawatir aku jatuh dari boncengan. Alasan itulah yang membuatku berhasil duduk di sadel depan sembari dipeluk erat dengan tangan kiri ayah yang duduk di boncengan belakang. Moment manis sekaligus paling romantis yang tidak akan pernah terulang dan terlupakan bersama ayah. Sayang datangnya waktu sore harus mengakhiri moment romantis itu :).
Seminggu berlalu, aku belum menyadari kalo ternyata akan menetap. Aku masih berpikir itu liburan yang menyenangkan karena tidak biasanya ayah meluangkan banyak waktu bersama saat liburan, apalagi hanya sekedar untuk jalan-jalan berkeliling dan bercerita.
Suatu ketika ayah mengajakku "berburu" lebah di kamar depan. Maaf kupakai kata "berburu" untuk memudahkan. Padahal yang kami lakukan adalah mengambil sarang yang dibuat para lebah di genting kamar paling depan rumah nenekku. Awalnya aku tidak tertarik dengan perburuan ini, tepatnya sebelum aku tahu kalau perburuan ini untuk mengambil madu lebah yang memang bukan hal yang tidak enak di lidah ku. Namanya juga anak kecil.
Walaupun sedikit malas, kuturuti saja ajakan ayahku berburu lebah. Lebih mengagetkan, perlatan berburu yang dipakai ayah ternyata jauh dari yang kubayangkan. 
Setahuku, berburu itu biasanya memakai senapan atau tombak lah minimal seperti yang sering kulihat di film. Ternyata alat yang digunakan ayah adalah karung, bilah bambu, dan tangga (berburu macam apa dengan peralatan seperti itu?). Lagi-lagi karena tidak tahu ya kuturuti saja apa kata ayahku. (bersambung)