Jumat, 18 November 2011

2 MENIT

Jam di tangan kanan Awan menunjukkan angka 8.17 pagi. Sudah 17 menit berada dalam ruangan, awan semakin sering melirik sosok gadis di sebelahnya. Sosok yang hanya berjarak beberapa millimeter bahkan bisa dikatakan tepat duduk di sebelah kanannya. Diam-diam diperhatikannya gerak-gerik gadis yang secara tak sadar telah mencuri perhatiannya itu. Gadis manis berkemeja hijau tua dan rok cokelat itu terus saja asik dengan handphone-nya. Tak lupa sesekali Awan melirik pula layar handphone yang sedang di pegang gadis di sebelahnya itu. Tak sengaja dilihatnya lambang twitter di layar handphone tersebut.
                “Ah, dia punya twitter rupanya”, gumam Awan dalam hati. Menit demi menit, Ia masih saja memperhatikan gadis manis di sebelahnya itu. Pikirannya mulai bergerak liar. Ia mulai berangan-angan dan menerka-nerka apa yang sebenarnya dilakukan gadis itu. Rasa penasaran mulai meggelayuti hatinya.
                Awan tidak hanya berdua dengannya. Ruang tunggu berkapasitas 25 orang itu nyaris dipenuhi wajah-wajah tegang. Wajah-wajah penuh harap yang berbalut kecemasan dengan berbagai ekspresi yang berbeda. Seorang di ujung ruangan bahkan menangis terisak, merasa nasibnya belum jelas. Entah alasan apa yang membuatnya berpikir demikian, Awan tentu saja tidak peduli. Ia terus saja asik melirik gadis di sebelahnya. Rasa penasarannya kian memuncak. Timbul keinginan untuk menyapa tapi keraguan masih bergelayut di hari Awan.
                “Siapa ya namanya? Kenalan, enggak, kenalan, enggak, kenalan, enggak…… pengen kenalan, tapi…. Kalo dia enggak mau gimana? Kalo dia ngira gue sok tau gimana? Apa jangan-jangan dia ga suka duduk sebelah gue ya makanya dia diem aja? Apa dandanan gue kelihatan norak? Atau jangan-jangan dia ga suka sama bau parfum gue, aduh mati….”
                Awan semakin bimbang dengan keinginannya. Gadis itu sangat menarik baginya, membuat rasa penasarannya semakin membuncah. Tapi lagi-lagi dia ragu dan tidak cukup berani untuk mengawali perbincangan. Di kepalanya terus saja muncul kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nanti saat dia memulai perbincangan. Anehnya, tak satupun kemungkinan positif muncul di otaknya. Hanya bayangan-bayangan negative saja yang sedari tadi melayang-layang di pikiranya.
                Menit ke-30 sudah terlewat, Awan semakin salah tingkah. Semakin banyak kemungkinan yang menghantui hati dan pikirannya. Ia kembali menimbang-nimbang langkah yang segera akan dilakukannya. Ingatan tentang Cogito Ergo Sum tiba-tiba melintas di kepalanya. Istilah yang sering disebut-sebut dosen favoritnya semasa kuliah itu sedikit memunculkan keberanian Awan. Cogito Ergo Sum yang dalam bahasa Perancis  diartikan sebagai “saya berpikir maka saya ada” dalam konteks komunikasi diasumsikan sebagai “saya berbicara maka saya ada”, begitu yang dikatakan dosen Awan semasa kuliah dulu. Istilah tersebut membuat Awan sadar bahwa dia tidak akan pernah dianggap ada oleh gadis manis di sebelahnya jikalau dia cuma berfikir dan bergumam dalam hati. Perlu langkah yang lebih nyata untuk dianggap ada, yaitu bicara. Dan akhirnya…
                “Permisi, saya Awan”, Awan menyodorkan tangan kepada gadis itu.
                “Melvy”, gadis itu tersenyum simpul.
                “Lulusan dari mana?”
                “Saya dari Undip”
                “Oh jauh dong kalau begitu”
                “Memangnya mas lulusan mana?”
                “Saya dari Moestopo. Panggil saja Awan. Dari jurusan periklanan juga?”
                “Bukan, saya dari jurusan hukum”
                “Loh kok masuknya ke perusahaan iklan?”
                “Kemarin saya daftar untuk jadi legal staf. Awan dari jurusan periklanan? Daftar jadi apa?”
                “Iya, saya dari periklanan. Kemarin daftar jadi Account Executive. Saya pikir hanya jurusan periklanan saja yang mendaftar, ternyata bisa dari lain jurusan juga. Sebelumnya sudah pernah ke Jakarta?”
                “Alhamdulillah sudah beberapa kali”
                “Punya saudara di Jakaarta?”
                “Ada kakak saya di depok”
                “Sudah berapa lama tinggal di Jakarta untuk panggilan kerja ini?”
                “Sudah dua bulan, tapi tidak menetap”
                “Maksudnya?”
                “Selama dua bulan ini saya bolak-balik Jogja – Jakarta”
                “Jogja? Loh Melvy enggak tinggal di Semarang? Memangnya asli mana?”
                “Kebetulan di Semarang cuma kuliah saja. Saya asli Jogja”, Melvy kembali tersenyum simpul.
                “Oh… Saya kira asli Semarang. Eh maaf dari tadi saya terlalu banyak Tanya ya?”
                “Enggak apa-apa kok, senang akhirnya ada teman ngobrol. Oh iya, Awan asli Jakarta atau pendatang juga?”
                “Aku Cuma kuliah aja di Jakarta, sama kaya Melvy di Semarang. Sebenarnya aku lahir di Medan, tapi sejak kecil ikut nenek di Palembang. Jadi bisa dibilang aku Batak – Palembang, hehehe…”. Awan mengganti sapaan dirinya untuk lebih mengakrabkan.
                “Palembang sebelah mananya? Soalnya ibuku juga asli Palembang”
                “Aku dari Lubuk Linggau, enggak pas di kota Palembangnya. Wah kalau gitu ibu kamu pasti pintar bikin pempek dong?”
                “Wah agak jauh berarti dari tempat ibuku. Daerah ibuku namanya Muara Enim, tahu daerah itu? Kalau soal pempek, bikinan ibu paling top buatku, hehehe”
                “Ah iya aku tahu daerah itu, ada beberapa teman dari Muara Enim juga. Kalau gitu berarti kamu jago juga dong bikin pempek?”
                “Iya kalau ibuku sih jago banget, kalau aku jago juga tapi masalah ngabisinnya”
                “Wah, wah, harusnya kamu berguru sama ibumu, jadi kalau pas kepingin bisa bikin sendiri. Kan lama kalau harus nunggu kiriman pempek dari ibumu. Eh tapi kamu tinggal sama ibumu kan ya?”
                “Dulu sih iya waktu sebelum kuliah. Tapi tempat kuliahku kan dekat dari Semarang, jadi kalau pengen pempek tinggal pulang deh. Hemat ongkos kirim juga”
                “Wah dasar kamu ini. Enak ya kuliah dekat, kalau mau pulang tinggal pulang. Enggak kaya aku yang pulangnya dijatah setahun tiga kali”
                “Tiga kali? Kok bisa? Kapan aja biasanya kalau pulang?”
                “Kalau libur semester sama lebaran baru aku pulang. Ya kalau keseringan pulang juga berat di ongkos, maklum harus nyebrang pulau kalau pulang”
                Tiba-tiba…
                “Saudara Andrew Setiawan Nasution!”, petugas front office meneriakkan nama Awan tanda gilirannya untuk interview tiba.
                “Iya, saya disini”, jawab Awan sambil berdiri seketika.
                “Giliran Anda setelah ini, silakan bersiap”
                “Baik Bu”, Awan memungut barang-barangnya dari kursi tempat duduknya tadi.
                “Ah giliranku sebentar lagi, ngobrolnya kita lanjutin lain kali ya. Oh iya ini kartu namaku. Semoga kita sama-sama berhasil ya di interview ini. Senang bisa kenalan sama kamu. Aku duluan ya, sampe ketemu lagi”, Awan beranjak setelah memberikan kartu namanya kepada Melvy.
                Melvy masih terdiam memandang Awan yang pergi meninggalkannya menuju ruang interview. Ia masih tidak menyangka lelaki yang selama setengah jam mengacuhkannya itu ternyata cukup menyenangkan saat berbicara. Walaupun hanya dalam 2 menit obrolan, Melvy merasa obrolannya tadi cukup menyenangkan. Tadinya Melvy berfikir kalau Awan adalah penganut paham lo-lo gue-gue. Ia sempat merasa diacuhkan oleh laki-laki tinggi bertampang imut-imut itu. Melvy sempat berfikir bahwa Awan adalah lelaki metropolitan yang tidak gampang kenal dengan orang di sekitarnya. Itulah sebabnya Melvy memilih menyibukkan dirinya dengan handphone dan berbagai media social yang ada. Kesibukan dunia maya membuat Melvy melupakan sejenak segala yang ada di sekitarnya. Menyibukkan diri membuatnya tak perlu pusing-pusing memikirkan yang terjadi di sekitarnya, apalagi di ruangan yang berisi dengan wajah-wajah tegang itu.
                Melvy akhirnya menyadari bahwa Ia harus segera kembali ke duania nyata ketika akhirnya Awan menegurnya untuk berkenalan. Hal tersebut membuktikan bahwa mungkin Awan juga merasakan apa yang dirasakannya. Ada fase dimana Melvy juga menduga-duga dan berfikir macam-macam tentang Awan yang telah mendiamkannya selama setengah jam di sebelahnya.
Memang ketika pertama kali bertemu dengan seseorang, biasanya akan timbul perasaan tegang dan tidak nyaman. Ketegangan itu dipicu karena ketidaktahuan kita terhadap orang yang kita hadapi. Itu semua dikarenakan saat pertama kali bertemu, orang bertindak sebagai peneliti yang naïf, yang termotivasi untuk memprediksi maupun untuk menjelaskan apa yang terjadi dalam perjumpaan – perjumpaan awal. Hal tersebut akhirnya melahirhan ketidakpastian baik secara kognitif maupun perilaku. Ketidakpastian itulah yang akhirnya mendorong seseorang untuk melakukan tindakan untuk mendapatkan kepastian dalam dugaan. Itulah gambaran dari sebuah teori tentang pengurangan ketidakpastian atau uncertainty reduction theory. Sebuah teori yang tidak pernah dipelajari namun sekarang dialami sendiri oleh Melvy, dan ternyata cukup 2 menit saja untuk menjawab ketidakpastian tersebut.
                Tak lama setelah Melvy merenung,
                “Saudara Melvyandra Arfinna, sebentar lagi giliran Anda”, petugas mengingatkan giliran interview untuk Melvy.
                “Iya terima kasih” melvi berdiri sambil membungkukkan badan. Ia pun bergegas memasukkan handphone-nya ke dalam tas dan merapikan pakaiannya. Ia segera masuk setelah salah satu pegawai kantor tersebut mempersilakan masuk. Interview dilaluinya dengan tenang, sesekali terlintas di kepalanya tentang obrolan dua menitnya dengan Awan tadi. Singkat tapi berarti. Obrolan yang mengingatkan kita pada teori yang cukup dekat namun seringkali tidak kita sadari.
                Akhirnya interview selesai. Melvy meninggalkan ruangan dengan wajah penuh keyakinan dan optimisme. Ia pun berjalan keluar melalui koridor sampai akhirnya dia bertemu seseorang di ujung koridor tersebut. Dilihatnya Awan berdiri sambil tersenyum ke arahnya.
                “Gimana interviewnya, lancar?”
                “Alhamdulillah lancar. Kamu sendiri?”
                “Aku juga lancar kok. Eh ngopi bareng yuk, biar bisa nglanjutin obrolan. Kamu enggak buru-buru kan?”
                Melvy kaget mendengar ajakan Awan, tapi Ia juga tidak ingin melewatkan sesi obrolan bersama Awan.
                “Boleh, dimana?”
                “Aku tahu tempat yang lumayan enak. Cukup naik busway sekali dari sini. Aku yang traktir deh, gimana?”
                “Okey”
                Dan merekapun berjalan bersama menuju halte trans Jakarta sembari mengobrol ringan tentang kegiatan interview yang baru saja mereka lalui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar